Widget untuk Idul Fitri

Postingan kali ini berhubungan dengan postingan sebelumnya mengenai Kreasi ketupat. Jika pada posting sebelumnya kreasi yang saya berikan adalah file mentah berupa vektor corel (Corel X3) dan Photoshop (CS4), kali ini saya ingin memberikan file tersebut berupa widget.


Kawan-kawan sekalian bisa memasang widget tersebut pada blog untuk menyemarakkan semangat Idul Fitri. Caranya tinggal meng-copy kode HTML-nya, lalu paste di blog kawan-kawan.


Sengaja tidak saya kasih tahun Hijriyahnya, agar nantinya bisa terus dipasang saat Idul Fitri berikutnya. Jadi jika lebarannya sudah lewat, kode HTML-nya bisa dilepas dan disimpan dalam notepad untuk Idul Fitri berikutnya (insya Allah bertemu dengan Idul Fitri tahun depan).


Silahkan dipilih mau pasang yang mana. Mari tularkan semarak Idul Fitri ke dalam blog...

Widget Idul Fitri 1
Photobucket

Copy dan pasang kode HTML di bawah ini:
<a href="http://duniamuam.blogspot.com/2010/09/widget-untuk-idul-fitri.html" target="_blank"><img src="http://i523.photobucket.com/albums/w358/muamdisini/ketupat1.gif" border="0" alt="Photobucket"></a>

Widget Idul Fitri 2
Photobucket

Copy dan pasang kode HTML di bawah ini:
<a href="http://duniamuam.blogspot.com/2010/09/widget-untuk-idul-fitri.html" target="_blank"><img src="http://i523.photobucket.com/albums/w358/muamdisini/ketupat2.gif" border="0" alt="Photobucket"></a>

Widget Idul Fitri 3
Photobucket

Copy dan pasang kode HTML di bawah ini:
<a href="http://duniamuam.blogspot.com/2010/09/widget-untuk-idul-fitri.html" target="_blank"><img src="http://i523.photobucket.com/albums/w358/muamdisini/ketupat3.gif" border="0" alt="Photobucket"></a>

Widget Idul Fitri 4
Photobucket

Copy dan pasang kode kode HTML di bawah ini:
<a href="http://duniamuam.blogspot.com/2010/09/widget-untuk-idul-fitri.html" target="_blank"><img src="http://i523.photobucket.com/albums/w358/muamdisini/ketupat4.gif" border="0" alt="Photobucket"></a>
Selengkapnya...

Kreasi Ketupat Lebaran


Siapa yang tak mengenal ketupat. Penganan khas hari raya berupa beras/ketan yang dimasak di dalam anyaman daun kelapa/janur kuning. Ternyata ketupat itu pun memiliki makna filosofis yang sangat dalam bagi masyarakat kita. Diperkirakan ketupat muncul dari tradisi Jawa, yaitu pada saat penyebaran Islam oleh Sunan Kalijaga. Pada saat itu diperkenalkan Lebaran Kupat, yaitu lebaran seminggu setelah hari raya (mungkin lebaran setelah puasa Syawal ya..)

Nama Kupat itu sendiri berasal dari kata Pat atau Lepat (Kesalahan) artinya diharapkan bagi kita yang memakan ketupat ini bisa terbebas dari kesalahan (pantas saja, dulu saya dipaksa makan ketupat ini setelah menjalankan ibadah di Bulan Ramadhan). Ada juga sumber yang mengatakan kalau arti ketupat berasal dari kata Ngaku Lepat artinya mengakui kesalahan. Yang mana yang benar? Yah, intinya kan meminta maa supaya terbebas dari kesalahan.



Bentuk ketupat yang unik berupa persegi ternyata juga memiliki arti tersendiri. Menurut masyarakat Jawa empat sudutnya menggambarkan arah mata angin yang salah satunya tidak boleh hilang. Artinya dalam menjalankan kehidupan, manusia harus seimbang termasuk dalam urusan ibadahnya. Bisa juga diartikan sebagai 4 macam nafsu yaitu nafsu amarah, nafsu makan, nafsu dari sesuatu yang indah, dan nafsu dari diri sendiri. Nafsu-nafsu tersebut yang kita tahan selama Bulan Ramadhan, sehingga saat lebaran dengan memakan ketupat menandakan kita mampu melawan nafsu-nafsu tersebut.

Ternyata kreasi ketupat tak hanya bisa diaplikasikan dalam berbagai menu makanan, terutama rendang dan opor ayam.. kali ini saya mencoba mengaplikasikan ketupat dalam berbagai desain kartu lebaran. Dari arti filosofisnya, ketupat ternyata mampu menjadi simbol hari raya dan ungkapan maaf kita kepada para handai taulan dan kawan-kawan. Selain itu, bentuknya yang unik menjadikan ungkapan kita menjadi semakin menarik. Berikut ini saya sajikan beberapa kreasi kartu lebaran yang saya coba buat berikut file mentahnya dalam format cdr. (untuk aplikasi CorelDraw) dan psd. (untuk aplikasi Photoshop).

Kawan-kawan bisa mengunduh file mentah tersebut untuk dikreasikan lebih lanjut. Hasilnya bisa dicetak dalam bentuk kartu lebaran, atau bisa ditampilkan dalam blog masing-masing. Selamat berkreasi!!


Selengkapnya...

Revolusi Sepatu atau Sepatu Revolusi?



Jika pada awal mula diciptakannya sepatu berfungsi sebagai alas kaki, tidak untuk masa kini. Fungsi sepatu perlahan mulai bergeser dari sekadar alas kaki menjadi simbol gaya hidup (lifestyle). Penggunaan sepatu yang dulu hanya berdasarkan kenyamanan kaki si pemakai serta bagaimana kaki mampu terlindungi kini mulai bergeser menjadi simbol dari genre pada generasi tertentu. Yah, sebut saja sepatu converse All Star yang pertama kali diciptakan di tahun 1908 dan dipromosikan oleh Chuck Taylor untuk para pemain basket profesional kini beralih menjadi simbol anti kemapanan bagi para pemakainya.


Sepertinya saya pun terkena syndrome converse itu. Saya termasuk orang yang percaya, semakin buluk/belel sepatu converse-mu maka sepatu itu semakin keren (hahaha...quotes dari mana itu). Akhirnya dengan susah payah saya pernah mempertahankan sepasang sepatu converse berwarna hitam selama kurang lebih empat tahun. Bentuknya pun sudah tak karuan, warna berubah menjadi keabu-abuan dengan lubang menganga disana sini, dan yang lebih tragisnya sepatu itu akhirnya berakhir di tempat pembuangan sampah di buang oleh ibu secara diam-diam tanpa sepengetahuan saya (padahal belum sempat didokumentasikan keotentikan barang bukti tersebut..)


Akhirnya dengan berat hati kembali kuputuskan mencari sepasang sepatu baru. Kali ini saya tetap mencari converse berharap ada yang butut. Akhirnya di sebuah toko sepatu di Bekasi (waktu itu belum bertugas ke Kaltim) saya mendapati keranjang yang isinya sepatu yang didiskon mencapai lebih dari 50%. Dan yang lebih keren lagi sepatu tersebut sudah terlihat buluk meskipun dikatakan sepatu baru (ini konsep belanja yang aneh, bagi yang belum mencoba jangan diikuti..). Dan sepatu itu pun akhirnya terpilih menjadi teman kakiku.


Hari demi hari pun dilalui bersama sepatu itu. Meski semakin jarang intensitas penggunaannya karena harus bersaing dengan sepatu untuk ke kantor (andai saja di kantor boleh ber-sneaker ria...) namun dalam setiap kesempatan sepatu itu tetap setia menemani. Pulang-pergi Samarinda-Jakarta, kegiatan kuliah di malam hari, jalan-jalan, berfutsal ria, sampai mengarungi banjir. Tapi tetap saya pertahankan agar bentuknya tidak berubah.


Setelah berpikir lebih lanjut melihat keadaan sepatu yang sudah mulai memprihatinkan timbul ide untuk merombak penampilan si converse ini. Akhirnya timbul inisiatif untuk menambahkan ornamen graffiti khas urban pada wajah sepatu. Konsep kasar dari graffiti ini pernah diposting di sini.


Maka ketika ada waktu luang segera saja saya siapkan spidol Artline WaterProof untuk mengaplikasikan desain yang sebelumnya pernah dibuat pada sepatu. Corat sana coret sini dan akhirnya sepatu belel itu pun berubah wajah layaknya body yang ditambahkan tatto. Dan sepatu belel itu pun berevolusi menjadi lebih indah (atau semakin belel yah?...)






Postingan kali ini dibuat untuk mengikuti “Kuis Sepatu Buluk Berhadiah Sepatu Baru” yang diadakan oleh Bang Arman.
Selengkapnya...

Mempertanyakan Keadilan

Gambar dipinjam dari sini

Jika kau berkata pengurangan hukuman itu atas dasar Hak Asasi Manusia, apakah berlaku juga pada kami? Warga negara biasa yang tidak memiliki kedudukan dan materi yang berlimpah seperti mereka. Apakah suatu saat jika kami melakukan kesalahan di mata hukum, kami akan mendapatkan perlakuan yang sama? Keringanan hukuman atau bahkan pembebasan dari hukuman?


Jika kau berkata setiap tersangka berhak menggunakan asas praduga tidak bersalah, apakah berlaku juga pada diri kami? Yang kami tahu, para tersangka (atau disangka) teroris langsung ditembak di tempat tanpa berhak memberikan penjelasan apapun. Yang kami tahu maling ayam, copet, dan penjahat kelas teri lainnya dibiarkan mati dibakar massa tanpa pernah menjelaskan mengapa mereka mencuri.


Jika kau berkata setiap pembebasan tahanan atas dasar kemanusiaan, tenang saja... kami sudah melupakan kasus-kasus kemanusiaan di negeri ini yang sampai saat ini belum ada kejelasan. Kami sudah melupakan siapa pembunuh Alm. Munir. Kami sudah lupa siapa saja yang menembaki dan dalang dibalik penembakan para mahasiswa di 1998. Kami sudah lupa siapa yang bertanggung jawab atas pembantaian umat muslim pada tahun 1984. Tenang saja, kami sudah lupa siapa yang harus bertanggung jawab atas genosida para pengikut (dituduh) komunis di awal orde baru. Kami tunduk dan patuh tidak ingin membuka “luka lama” bangsa.


Tenang saja, kami tak akan menuntut macam-macam mengenai keadilan atau bertanya kenapa mengapa. Kami hanya sekadar ingin tahu, apakah jika suatu saat di antara kami ada yang terseret kasus hukum atau menjadi terfitnah di mata hukum, berhakkah kami dikenakan asas praduga tidak bersalah sebelum kami babak belur oleh para petugas berseragam cokelat?

Semoga saja di negeri ini masih ada keadilan yang tidak berpihak...
Selengkapnya...

Andai Sang Garuda Bisa Bicara

Aku bukanlah berhala yang harus kalian sembah atau dewa yang harus kalian puja.
Aku hanyalah seekor Burung Garuda, burung mitos yang kalian jadikan sebuah lambang negara.
Di dadaku tergantung perisai yang melambangkan apa yang kalian sebut Pancasila, masing-masing gambarnya memiliki arti filosofis tersendiri. Yah, kalianlah yang lebih mengerti maknanya.
Cakarku kokoh menggenggam tulisan “Bhineka Tunggal Ika”, kalian pulalah yang lebih mengerti artinya.


Tapi, tahukah kalian, aku ingin terbang tinggi, ingin merdeka juga seperti kalian. Perisai di dadaku rasanya semakin berat. Aku sudah tak kuat menanggung beban kelima sila yang kini maknanya makin terlupakan.
“Bhineka Tunggal Ika” yang kubawa kemana-mana, kini juga semakin tak berarti. Atau memang sengaja artinya dilupakan..aku tak tahu

Ah, aku bosan berada di dinding bersanding dengan wajah para pemimpin negeri.
Sejak aku di rancang oleh Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II dan disahkan penggunaannya pada bulan Maret 1950, tubuhku selalu menghiasi dinding-dinding berada di antara para pemimpin negeri dan wakilnya
Entah sudah berapa kali wajah mereka berganti, aku masih setia menemani.
Tak ada keluh kesah bagiku. Aku sudah cukup bangga, tetap setia menemani mereka.
Atau justru mereka yang harus setia dan patuh pada diriku? Ah, entahlah, yang aku tahu salah satu syarat untuk menjadi pemimpin negeri ini harus patuh dan setia pada diriku. Bahkan dulu aku dijadikan alasan untuk membunuh dan melenyapkan manusia-manusia yang katanya tak setia kepadaku.
Ah, sudahlah, aku tak ingin mengingat keburukan-keburukanku di masa lalu, sekarang saatnya bertobat.

Tapi aku sedih, tergantung pada dinding-dinding usang dalam bangunan yang hampir roboh.
Wajah pemimpin negeri yan mendampingiku sudah tak sesuai perkembangan zaman, sepertinya ini pemimpin negeri satu dasawarsa yang lalu. Sudah berdebu pula.
Namun dihadapanku, ku lihat anak-anak itu sungguh bersemangat. Berbekal sebatang pensil dan buku yang sudah tak berbentuk buku mencoba untuk mencuri sedikit ilmu dari sang guru.
Meskipun bangku yang mereka duduki hampir patah, tak jauh berbeda dengan bangunan yang menaungi mereka tapi semangat mereka begitu membara. Aku bisa melihatnya dari sorotan mata mereka kala memandang papan tulis hitam yang ada di bawah diriku.

Tapi aku juga marah, digantungkan dalam ruangan yang cukup besar, katanya sih ini ruangan sidang kenegaraan.
Ah, apa peduliku. Orang-orang di dalam sibuk sendiri. Katanya bermusyawarah untuk rakyat, tapi yang kulihat banyak mereka yang tak ikut bermusyawarah, tidur, atau asyik mashuk bercengkrama lewat apa yang dinamakan facebook atau twitter.
Kadang-kadang aku menyaksikan mereka saling bertarung layaknya aku sedang berada dalam sasana tinju saja.

Ah, pokoknya aku ingin terbang. Menyaksikan keindahan negeri dengan mataku sendiri, bukan dari poster-poster yang di tempelkan di sekitarku.
Aku ingin menunjukkan bahwa negeri yang menjadikanku sebagai lambangnya lebih indah dan lebih elok dari negeri yang lain.
Selengkapnya...

ke Sengata atau Sangatta?



Maaf kawan, kembali lagi saya harus meninggalkan aktivitas yang berkaitan dengan blog dalam waktu yang cukup lama. Ingin sekali rasanya berkunjung ke tempat kawan-kawan semua, tapi ada rasa malu karena saya belum bisa menyaikan hidangan segar pada blog ini. Alhasil, saya hanya sanggup sesekali mengintip di tempat kalian. (^_^).


Jalan Samarinda-Bontang kembali kulalui. Namun kali ini tujuannya bukan untuk wisata menikmati alam borneo, tujuan saya kali ini adalah ke Sengata, ibukota dari Kabupaten Kutai Timur. Selama sebulan penuh saya akan bertugas disana. Itulah alasan yang menyebabkan (lagi-lagi...) blog ini sampai terbengkalai...


Kali ini perjalanan Samarinda-Bontang yang sebelumnya pernah kulewati (bisa dilihat dalam postingan ini dan ini) kulalui dengan mata terpejam, mungkin akibat semalaman saya tidak tidur mengerjakan “PR” tugas kantor yang harus segera kuselesaikan sebelum berangkat bertugas lagi. Memasuki gerbang Taman Nasional Kutai mataku kembali terbuka, mungkin rasa kantuk ini telah terpuaskan.


Pertama kali membuka mata (setelah terlelap sepanjang perjalanan) yang terlihat hanyalah hijau, hijau, dan hijau. Rimbunan pohon dan luasnya semak belukar menghiasi pemandangan di kanan-kiri jalan. Di kejauhan terlihat pohon-pohon besar yang menjulang di antara rimbunan pohon lainnya. Memang, sebagian besar kawasan Kutai Timur ini terutama jalan menuju Sengata (ibukota kabupaten Kutai Timur) masih dipenuhi hutan.


30 hari penuh berada Sengata, saya jadi merasakan atmosfer Kota Pertambangan. Pagi-pagi, sekitar pukul 7.30 WiTA saat kami bersiap akan menjalani tugas, kami selalu berpapasan dengan bis-bis berukuran bis Transjakarta yang lalu lalang membawa para pekerja tambang. Helm dengan warna menyala, celana jeans dengan sepatu boots sudah cukup mengidentifikasi pekerjaan mereka.



Besarnya Dump Truck, c oba bandingkan dengan mobil di belakangnya

Memang Sengata dikenal sebagai Kota pertambangan. Didalamnya terdapat lokasi penambangan perusahaan batu bara yang cukup besar dan terkenal hingga ke mancanegara. Kota ini pun hidup berkat adanya tambang-tambang tersebut. Ratusan atau bahkan ribuan orang menggantungkan hidup dari aktivitas pertambangan.


Yah, saya pun kemudian membayangkan apa yang akan terjadi dengan kota kecil ini beberapa tahun ke depan. Sepuluh tahun, Lima puluh tahun, atau ratusan tahun kemudian,,, saat gompalan-gompalan emas hitam itu telah habis tergerus apakah kota kecil ini masih akan tetap berdiri? Bagaimana dengan nasib orang-orang dan keluarganya yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas itu?


Mendung pun menggelayuti langit sepanjang perjalanan Sengata-Samarinda, kali ini kulalui tanpa mata terpejam. Sengaja saya buka jendela mobil “Nissan Navara” itu, dan kuhirup dalam-dalam udara disekitar Taman Nasional Kutai. Sengaja kunikmati segarnya udara itu sebelum ikut menghilang bersama sumber daya bumi lainnya. Entah apa yang akan terjadi dengan pohon-pohon itu sepuluh tahun, lima puluh tahun, atau ratusan kemudian? Apakah pohon-pohon itu masih tegak berdiri menantang langit?


Yang masih menjadi pertanyaan, sebenarnya penulisan Sengata itu yang benar seperti apa ya? karena sampai saat ini masih ada dua versi penulisan : Sangatta dan Sengata. Kawan-kawan ada yang tau? (^_^)...


***

Terima kasih untuk kakaakin dan mba deny atas kopdarnya kemarin..hehehe... jadi semangat posting lagi nih..


Selengkapnya...

Wisata Kota Bontang (part 2) – Pulau Beras Basah


Dan akhirnya pagi pun tiba... Kami berencana berburu sunrise di Bontang Koala, lokasi yang pertama kali kami kunjungi, sejak jam 5 pagi. Namun apa daya, lelah di hari sebelumnya belum lunas terbayarkan sehingga jam 6 pagi kami baru keluar dan berlarian menuju darmaga kayu di tepi laut. Meski langit cukup berawan dan kami sudah cukup kesiangan, beberapa momen berhasil didapat.


Matahari belum beranjak dari tempatnya, kami memutuskan untuk segera meluncur ke persinggahan berikutnya: Pulau Beras Basah...

Terdapat beberapa alternatif untuk menuju ke pulau yang jaraknya kurang lebih 7 km dari Kota Bontang tersebut. Yang pertama adalah tempat keberangkatan, kita bisa memulai dari Jalur Bontang Koala dengan menyewa speedboat atau perahu ketinthing mlik warga sekitar, melalui Pelabuhan PT. Badak (ini hanya untuk karyawan dan keluarga PT. Badak), dan melalui Pelabuhan Tanjung Laut. Akhirnya kami putuskan pilihan ketiga...



Segeralah kami menyewa kapal klothok milik nelayan setempat (+ “nakhodanya” ^_^). Dengan proses negosiasi akhirnya mampu mendapatkan harga sekitar Rp300.000-an untuk menumpang kapal berkapasitas 10-12 orang penumpang (harga P-P, pak “Nakhoda”-nya rela menunggu kita disana loh..).Jarak dari Pelabuhan ke Pulau Beras Basah ditempuh kurang lebih dalam waktu 40 menit. Sepanjang perjalanan kita bisa melihat kawasan industri PT. LNG Badak lengkap dengan kilang-kilangnya ditambah beberapa mercusuar lepas pantai.





Mendekati pulau, kita disajikan pemandangan bawah laut dari permukaan. Jernihnya air laut membuat kita leluasa melihat ikan-ikan kecil khas daerah tropis berenang diantara terumbu karang. Riak ombak yang tak begitu besar mengajak kaki ini untuk sekadar merasakan sejuknya air laut di siang bolong.




Pulau kecil yang berada di wilayah Selat Sulawesi ternyata tak ramai penghuni, konon hanya satu keluarga nelayan yang ada di pulau itu. Bangunan di tengah pulau pun hanya ada sebuah rumah panggung panjang (milik keluarga nelayan ya..) yang kamar mandinya disewakan sebagai kamar ganti/kamar mandi umum dan sebuah menara setinggi 15 m yang dindingnya sudah mulai banyak menghilang. Oleh karena itu alangkah bijaknya jika kita ke pulau yang katanya sekarang luasnya hanya 1 Ha membawa bahan makanan atau makanan jadi yang mampu mengganjal perut dan jangan membang sampah makanan itu di sembarang tempat.



Konon katanya pada masa lalu pernah terdapat kapal besar pembawa beras dari Sulawesi terhempas diterjang ombak besar. Awak kapal yang takut tenggelam akhirnya menurunkan beras tersebut di sebuah pulau. Akhirnya beras itu terkena air laut dan menjadi basah, sejak saat itu nama Pulau Beras Basah digunakan sebagai nama dari pulau itu...


Selengkapnya...

Wisata Kota Bontang (part 1) – Bontang Koala

Menuju Laut

Matahari pagi sudah mulai beranjak ke peraduan saat kami, kumpulan kawan-kawan kantor pecinta wisata dan fotografi mempersiapkan keberangkatan menuju Kota Bontang. Jarak Kota Bontang dari Kota Samarinda dapat ditempuh dalam 2 jam perjalanan. Jalan trans Samarinda-Bontang pun hampir sebagian penuh liku, dan harus tetap waspada sebab beberapa ruas masih banyak terdapat lubang.


Siang menjelang sore akhirnya kami sampai di Kota Bontang. Memang pada awalnya kami belum merencanakan kemana kami harus melangkah, tetapi setalah searching kesana kemari akhirnya diputuskanlah kami menuju kawasan Bontang Koala.

Bontang Koala


Apa itu Bontang Koala?


Hmm..itu bukan nama hewan koala khas Bontang, tetapi sebuah nama sebuah perkampungan. Terletak sekitar 5 km dari Pusat Kota Bontang menuju kawasan pantai timur.


Lalu apa yang spesial?


Bontang Koala merupakan perkampungan yang didirikan di atas air. Yup, perkampungan yang terletak di Kota yang juga terkenal dengan mpek-mpeknya itu benar-benar didirikan tanpa berpijak di permukaan tanah melainkan di dasar laut. Bahan utama yang digunakan dalam bangunan-bangunan disana adalah kayu, khususnya kayu ulin yang terkenal dengan kekuatannya.


Kayu

Jepret


Yang kami salut di perkampungan ini meski tidak ada sama sekali bangunan yang benar-benar ada di atas tanah kehidupan mereka tetap berjalan layaknya kehidupan penduduk lain yang betul-betul berpijak di permukaan tanah. Karena memang rumah-rumah mereka berada di atas permukaan laut, maka mata pencaharian utama penduduknya adalah Nelayan.


Beristirahat Sejenak



Selain itu, perkampungan “terapung” ini juga dikenal sangat bersih. Sepanjang jalan yang mayoritas juga terbuat dari deretan kayu ulin itu sangat jarang ditemui sampah berserakan, justru setiap beberapa meter kita akan menemukan bak-bak sampah. Di bawah jalan dan rumah itu terdapat lalu lintas kecil tempat perahu-perahu ukuran kecil mengangkut hasil lautnya.

2 menara


Setelah puas berburu gambar di perkampungan tersebut rencananya kami akan ke pemberhentian selanjutnya, kawasan Industri PT. LNG yang terkenal dengan pencahayaannya yang indah di malam hari dan replika merlion khas Singapura yang juga ada di kota ini. Selanjutnya ingin coba mengambil suasana sunset di Bontang.

mengambil gambar

Api abadi

Karena sudah terlanjur sampai jadi sekalian saja kami menunggu pagi untuk mencoba berburu Sunrise di pesisir Bontang and next destination: Pulau Beras Basah...
Bersambung ke part berikutnya...


Selengkapnya...

Setahun sudah di Bumi Etam

Islamic Centre terlihat dari tepian Mahakam.Sumber: Koleksi Pak Aryo


Apa kabar kawan-kawan?.. Lama tak bersua ya.. rasanya gatal tanganku melihat blog ini terlantar, kasihan sekali pemiliknya sudah lama tak melongoknya. Sudah beberapa bulan ini saya bingung mau diapakan blog ini. Rasanya yang penting harus terisi dulu yah lalu keliling mampir menyapa kawan-kawan ....


Bulan April kemarin ternyata saya sudah genap setahun menginjakkan kaki ke Bumi Etam. Semenjak saya memposting artikel ini, sebuah artikel isinya pengalaman pertama saya ketika pertama kali berada di Kaltim, dengan berbagai harapan yang bisa saya bawa. Tak terasa juga ternyata sudah banyak kenangan yang saya peroleh.


Salah satu sudut Kota Balikpapan. Sumber: Koleksi Pribadi

Pertama kali saya tiba di Balikpapan saya merasa tak jauh berbeda dengan kota asal saya, Jakarta. Perbedaannya mungkin hanya tidak begitu banyaknya gedung-gedung pencakar langit. Ternyata ekpektasi saya tentang Kalimantan Timur meleset, Kalimantan Timur – Balikpapan – tak sesepi yang dibayangkan.


Di Samarinda pun begitu, Kota yang akhirnya menjadi tempat persinggahan saya selama beberapa tahun ke depan nanti ternyata bisa dikatakan cukup (bahkan sangat) ramai. Di Jakarta banjir, di Samarinda pun begitu. Tahun lalu kedatangan saya ternyata disambut dengan banjir besar di Samarinda. Mungkin yang sempat mengagetkan saya adalah budaya jalanan sebagian besar pengendara motornya. Ternyata ungkapan bahwa sebagian besar pengendara sepeda motor di Samarinda lebih urak-urakan daripada di Jakarta dan Jogja tak salah.


Selain itu yang sedikit mengagetkan adalah budaya jual belinya. Kalau dulu, ditempat asal saya pembeli adalah raja, maka penjual akan memberikan service penjualan yang memadai. Hal seperti itu ternyata sangat jarang saya temui di Samarinda. Kota yang terkenal dengan perdagangannya ini ternyata belum memiliki nilai tambah dalam hal pelayanan kepada pembelinya, meski di beberapa tempat saya masih menjumpai penjual yang ramah.


Yah, budaya di setiap daerah memang selalu berbeda. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Susah senang di kota ini, provinsi ini, akan saya jalani semasa masa tugas saya masih belum berakhir. Bagaimanapun, di kota ini saya berusaha mencari nafkah dan menjalankan segala kewajiban. Semoga harapanku pada saat pertama kalinya menginjakkan kaki di tanah Kalimantan ini untuk sedikit banyak bisa berkontribusi dalam pembangunan bisa tercapai.


Saat ini Samarinda sedang menuju Pemilihan Walikota. Semoga yang menjadi pemimpin benar-benar bisa mengayomi rakyat, bukan sekadar janji-janji palsu.
Semoga nanti dengan Pemimpin yang baru bisa bersama-sama membangun Kaltim untuk semua....
Selengkapnya...

Hiatus yang Lama – masih pantaskah menyandang sebutan narablog?

Pulau Nunukan terlihat dari seberang

Sebelumnya saya ingin memohon maaf kepada kawan-kawan narablog atas ketidak-hadiran saya yang cukup lama. Hiatus tanpa berpamitan terlebih dahulu. Maaf saya tak sempat melakukan kunjungan BW atau sekadar memberikan komentar menyapa kawan-kawan lain. Maaf pula jika komentar-komentar di blog ini belum sempat terbalas. Jadinya blog ini seperti blog mati, tanpa ada yang mengurus....(sedih mode : on)


Hiatus ini berawal pada akhir Januari saat saya mendapatkan surat tugas untuk berangkat ke wilayah Nunukan. Sebuah kabupaten yang berada di ujung utara Kalimantan Timur, tepat berbatasan dengan wilayah Malaysia. Sebulan lamanya saya disana, sampai akhir Februari kembali lagi menginjakkan tanah Samarinda.

Sebenarnya saya punya rencana untuk berbagi cerita dengan kawan-kawan. Tetapi tumpukan tugas kantor dan sederet tugas kuliah pengganti akibat bolos sebulan menghalangi niat “baik” itu. Ditambah lagi dengan deretan UTS beberapa mata kuliah di akhir Maret. Ditambah lagi pula dengan kambuhnya penyakit malas menulis kronis. Ternyata kerja sambil kuliah itu memang tak semudah apa yang dibayangkan ya....


Di awal april saya sempatkan diri merefresh pikiran dengan kembali ke kampung halaman di Bekasi. Ternyata saya sudah ketinggalan perayaan ulang tahun Kota Bekasi yang diadakan blogger Bekasi. Yah, setidaknya bisa bertemu dengan keluarga walau hanya sebentar sudah bisa menenangkan pikiran.

Rencananya pertengahan bulan ini saya akan kembali ditugaskan lagi, entah kemana. Namanya tugas negara, mau tak mau harus dilaksanakan. Mungkin akan ada hiatus lama lagi. Setidaknya saya ingin memohon izin kepada kawan-kawan, atau sekadar ingin memberikan informasi bahwa blog ini belum mati...

Jadi terlintas pertanyaan di dalam benak, masih pantaskah disebut narablog aka blogger tanpa posting tulisan atau BW?

Tetap berkunjung yah kawan-kawan...




Selengkapnya...

Avatar: sebuah kritik terhadap korporatokrasi asing...


Maaf kawan-kawan narablog, lama saya tak bisa BW. Rasanya beberapa hari atau pekan belakangan ini rasa segan untuk menulis sedang menyerang saya. Alhasil, blog ini sering terbengkalai. Padahal sejak awal tahun saya sudah menyiapkan banyak skript tulisan yang akan diterbitkan. Tapi rasa enggan itu kembali datang ketika saya berusaha untuk mengembangkannya..ah....


Tapi ada yang benar-benar menarik perhatian saya. Akhirnya saya berusaha untuk coba menuangkannya dalam kata-kata...


***


Waktu itu saya iseng menyaksikan sebuah film yang dibuat oleh James Cameroon. Film yang dalam penayangannya terdapat versi 3D ini diberi judul Avatar. Pertama saya membaca judulnya saya kira film ini hasil pengembangan dari cerita Ang si Avatar yang biasa ditayangkan di TV. Ternyata ketika menyaksikan sangat berbeda. Dan kesannya luar biasa...jauh dari apa yang saya bayangkan (saya kira filmnya tidak menarik)...


Kali ini saya tak ingin memberikan sinopsis jalannya cerita dalam film yang berjalan lebih dari 2 jam ini, pasti sudah banyak narablog yang membuatnya. Lagipula jika saya membuatnya sekarang, sudah jauh dari up to date...


Jika kita memperhatikan cerita dalam film ini ternyata ada sisi kritik yang benar-benar mengena dalam kehidupan nyata. Kritik terhadap korporatokrasi negara-negara adidaya di negara-negara dunia ke-3...




Dalam film yang bersetting tahun 2154 ini diceritakan bagaimana manusia “bumi” menjelajah sebuah planet yang dinamakan “PANDORA”. Planet yang sangat indah ini ternyata mengandung banyak sumber daya alam mineral yang sangat mahal, disebut Unobtanium. Namun ternyata untuk mengeruknya tak semudah apa yang dibayangkan. Di dalam planet itu terdapat banyak hewan-hewan berukuran raksasa dan tentunya penduduk asli sana, Bangsa Na’vi.


Untuk membujuk orang-orang Na’vi agar mau menyingkir dari tempat yang didiaminya selama ini, yang diperkirakan dibawahnya terdapat kandungan Unobtanium yang melimpah, dikirimlah avatar dari suku tersebut. Avatar yang dibuat dari DNA orang Na’vi dan dikendalikan manusia pun menyusup ke dunia PANDORA.


Namanya manusia bumi yang selalu dipenuhi nafsu dan serakah, mereka tak sabar untuk menguasai lahan “tambang” tersebut. Apapun akan dilakukan, termasuk memusnahkan para Na’vi dan menghancurkan ekosistem di Planet Pandora. Mereka pun menggunakan para militer terlatih dan peralatan tempur canggih untuk memborbardir para Na’vi, demi mengusir mereka dari lahan “tambang”.


Namun atas bantuan avatar tersebut keserakahan manusia bumi mampu diredam, bahkan dikalahkan meski dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Alam indah “pandora” pun mampu diselamatkan.


***


Dari film ini saya jadi teringat apa yang dialami oleh negara-negara seperti planet “Pandora”. Negara-negara yang memiliki keindahan alam namun di dalamnya terkandung kekayaan mineral yang sangat melimpah, termasuk Indonesia.

Gunung Emas di Papua, menyisakan luka yang besar. Gambar dipinjam dari sini

Bagaimana bumi Papua dikeruk kekayaan alamnya, menyingkirkan tanah adat setempat demi mendulang emas dan tembaganya. Bagaimana Gunung Grasberg di Papua terkeruk habis menyisakan cekungan yang dalam dan sisa-sisa tambang. Bagaimana rakyat Amungme dan Komoro yang terdepak dari tanah tempat mereka berpijak.

Lubang bekas galian tambang emas di Papua. Gambar dipinjam dari sini

Lalu, cobalah lihat bukit-bukit di sekitar Kota Samarinda yang semakin habis tergerus pertambangan Batubara. Menyisakan banjir di Pusat Kota setiap datangnya musim penghujan. Menyisakan sisa-sisa tambang yang teronggok.

Kondisi salah satu wilayah pertambangan Batubara di Kaltim. Gambar dipinjam dari sini


Apa yang akan terjadi pada tempat-tempat “Pandora” di Indonesia 5, 10 atau bahkan 50 tahun yang akan datang. Masihkah kita menyisakan sedikit rezeki dari alam untuk anak dan cucu nanti. Atau kita sudah bersyukur mendapatkan rezeki dari serpihan-serpihan hasil kekayaan alam kita sendiri yang diborong habis oleh pihak-pihak asing?


Yah, setidaknya dari film ini kita bisa belajar bagaimana seharusnya sikap kita terhadap korporatokrasi asing. Korporatokrasi yang senantiasa memberikan kita berbagai fasilitas yang akhirnya terbuai dengan sistem yang terbentuk yang akhirnya membuat kita “rela” menjadi budak untuk mereka...


Sekadar mengingatkan:

Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33:

  1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan;
  2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
  3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
  4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
  5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.




Selengkapnya...

Paradoks Kekuasaan...



Kenapa orang yang memiliki kekuasaan dan harta yang berlimpah selalu yakin bahwa mereka harus mendapatkan apa yang mereka mau?

Aku mengerti, keinginan dan harapan itu adalah hak bagi setiap orang. Tetapi, apakah hak itu hanya dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan di tangannya, atau gelimpangan harta yang berlebih pada diri mereka. Dan dengan apa yang mereka punya itu, dengan seenaknya mereka membabat habis hak orang lain. Itulah yang ku tak habis pikir…


Lalu, mereka berpendapat, mereka memperoleh semua itu (kekuasaan dan kekayaan) dengan segala perjuangan yang telah mereka lakukan. Entah itu dengan cara yang wajar ataupun tidak. Tapi bagiku, itu akan tetap busuk jika kekuasaan yang mereka peroleh dijadikan alat sebagai pemuas segala keinginannya.


Lalu, dimana hak-hak kami, sebagai WARGA NEGARA BIASA untuk bisa merasakan sekadar secuil harapan dan keinginan yang niscaya. Bukan sekadar harapan kosong dan sampah. Bukan hanya harapan-harapan yang dijanjikan oleh “Penguasa”. Bukan hanya harapan-harapan sisa dari onggokan-onggokan harapan-harapan “mereka”.


Kami juga berhak hidup, kami berhak menentukan masa depan kami. Jangan kau anggap harta dan kekuasaanmu dapat membeli “HARGA DIRI” kami.



Kami sadar, jika kami “BUKAN SIAPA-SIAPA”. Tetapi kami tak mau menjadi tumbal keinginan pemuas nafsumu. Kami sudah lelah harus terus “MENGALAH” dengan keadaan demi mementingkan “EGO”mu. Kau tahu, kami muak dengan semua itu.


Kau tahu, jika kau anggap “KEKUASAAN”mu bisa melakukan segalanya dan bisa kau gunakan seenak hati demi mementingkan segala keinginanmu maka KAU SALAH BESAR…. Kekuasaanmu tak bisa membeli jiwa-jiwa kami, masa depan kami, harapan dan mimpi kami…


Untuk itu, aku harap jangan pernah kau angkuh dengan “KEKUASAAN”mu. Karena disini kami akan terus melawan entah dengan cara apa. Jika kau punya kehendak yang tak dapat kau tanggalkan, dan kau mengandalkan “KEKUASAAN”mu. Maka kami disini juga punya kehendak, dan yang kami andalkan adalah tangan kami, pemikiran kami, keberanian kami, dan jangan pernah kau lupa “PERSATUAN” kami…

Kami tak akan pernah menyerah dengan keadaan...

Tulisan ini dibuat untuk mendukung seseorang yang penulis kenal ketika dirinya dikorbankan untuk sebuah korporasi demi ego “kekuasaan”.
Mohon dukungannya kawan-kawan…

Desain gambar oleh muam diambil dari galeri pribadi

Selengkapnya...

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme