Sebuah bahasa hati

Ini bukan tentang persoalan cinta, melainkan hati. Aku harap ia mengerti. Kadang memang kurasakan tak sanggup berdiri apalagi untuk berkata. Memang kuakui selama ini aku membenci sebuah kata ”Cinta”. Aku selalu tak pernah puas dengan kata itu. Ingin rasanya ku lakukan sebuah ekspsdisi untuk menemukan sebuah kata yang maknanya lebih besar dari kata itu.

Mungkin ia tak pernah mengerti mengapa aku diam seribu bahasa. Itu karena aku tak mengenal cinta dari kata, tetapi dari hati. Aku harap ia juga mengerti. Ah, ternyata tak ada yang mengerti bahasa hati. Sekarang semua telah terangkai dalam kosakata yang dengan mudahnya bisa dicari dalam kamus lengkap, wikipedia, google, atau pun world book.

Tapi aku merasa ia telah hadir dalam hatiku meski tak mengerti bahasanya, pun dengan isyarat. Aku hanya berharap ia meninggalkan hati didalamnya dan ia lupa mengambilnya sehingga ada mereka bisa berbicara dengan bahasa yang sama-sama mereka mengerti. Bukan bahasa yang kita mengerti yang biasa terucap lewat kata.

Dan kini kuharapkan sedikit senyumnya terjatuh di dalam hatiku dan ia lupa memungutnya. Sehingga ketika hati sama-sama bicara senyum itu tergantung disisinya berbingkai pigura paling indah yang pernah ada.
Ah, aku harap ia mengerti... Selengkapnya...

Jawaban yang terlambat

Pagi ini aku merasakan kembali suasana melankolis. Entah karena apa. Semenjak tengah malam tadi insomnia ku kambuh lagi, mungkin terlalu banyak hal yang dipikirkan. Atau mungkin pula karena langit semenjak tadi masih enggan berhenti mengucurkan air hujannya.

Dari dalam bis menuju kantor kuperhatikan keadaan sekitar. Suasana langit yang mendung enggan menampakkan secercah sinar mentarinya. Kaca yang berembun akibat suasana yang begitu dingin semakin meredupkan suasana. Ah, ditambah pula dengan pendingin ruangan di dalam kendaraan ini yang begitu dingin. Segera saja kurapatkan jaketku, setidaknya bisa mengurangi kadar menggigilku.

Kemudian kuambil ponsel genggam dari kantong celanaku yang sedang dalam keadaan basah akibat guyuran hujan. Lalu perlahan kembali kubuka folder inbox di dalamnya. Perhatianku tertuju pada 3 pesan singkat yang kuterima tadi malam. Isinya tidak begitu singkat jika tidak ingin disebut cukup banyak.

Kubaca kembali satu persatu pesan singkat itu. Ya, kuanggap itu semua adalah jawaban dari empat tahun penantian. Ketika membacanya ada rasa bahagia bercampur dengan penyesalan. Bahagia karena akhirnya aku mendapatkan sebuah jawaban dari sebuah ketidakpastian dan penyesalan karena ternyata jawaban itu datang terlambat meski akhirnya kutemukan kepastian.

Aku memang sempat berpikir empat tahun telah terbuang percuma. Tapi tidak, bagiku jawaban itu sudah cukup meskipun terlambat datangnya. Kuterima empat tahun itu sebagai pelajaran hidup untuk menjadi dewasa dalam arti sebenar-benarnya, bukan dilihat dari segi umur. Empat tahun itu kuanggap sebagai waktu yang dibuthkan untuk proses pematangan jiwa yang didalamnya aku dicekoki dengan berbagai macam pengetahuan kehidupan yang tak kuterima di bangku kuliah. Entahlah...

Kusandarkan kepalaku pada bangku bis itu kemudian kucoba pejamkan mata. Dari tadi malam mata ini sulit terpejam. Ah, aku masih belum bisa menidurkan jiwaku barang beberapa menit saja. Akhirnya kulayangkan pandangan ke luar jendela. Jalanan tampak berkilat oleh basahnya air. ”aku selalu suka sehabis hujan di bulan Desember...” lagu Efek rumah Kaca yang teringat dalam pikiranku meskipun radio yang diputar melantunkan nada yang lebih melankolis. Langit masih belum mau berhenti mencurahkan air ke bumi.

Kubiarkan diriku terbawa suasana melankolis ini. Dan bis pun melaju keluar dari Tol Gatot Subroto manuju Slipi... Selengkapnya...

Aku Sayang Ibu


Ketika kucium tangannya, seketika itu juga terhirup olehku aroma detergen bubuk pencuci pakaian yang kukenali. Meskipun sudah tak lentik lagi, tangannya masih cekatan untuk mengurus segala macam hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Dari jemarinya sudah tak lagi melingkar emas atau permata tanda pernikahannya. Aku pun sudah lupa kemana perginya semua, katanya untuk biaya pendidikan kami atau sekedar untuk bertahan hidup.


Kulitnya sudah mulai legam. Bukan, bukan termakan usia, tetapi karena sengatan mentari saat menjemur pakaian. Atau saat terpaksa berbelanja ke pasar karena hari sudah siang. Langkahnya terlihat letih namun tak bisa dibilang gontai. Aku suka dengan semangatnya.


Di sekitar matanya mulai cekung, ada bayangan hitam disana. Bukan, bukan menggunakan eye shadow, tetapi karena terpaksa bangun lebih pagi dan tidur lebih larut. Hanya untuk membangunkan putra-putrinya dan menunggunya sampai di rumah dengan selamat.


Tubuhnya pun sudah mulai terlihat menipis. Bukan karena diet yang biasa dilakukan orang-orang yang kurang percaya diri, tetapi mungkin karena tak sempat beliau menikmati makanan hasil olahannya. Tak punya waktu untuk mengunyah sekedar sesaat , katanya.


Ah, andai aku tahu apa yang bisa membuatnya bahagia. Aku rasa pijitan tanganku apabila beliau merasa pegal tak mampu mengurangi rasa lelah hidupnya. Baik fisiknya maupun hatinya. Mungkin hadiah-hadiah yang kami berikan tak mampu menebus jasanya yang selama ini telah beliau berikan pada kami. Baginya, senyum kami dimasa yang akan datang yang diharapkan.


Aku hanya ingin datang padanya kemudian mengucapkan sepatah kata, mungkin bisa menyenangkan hatinya meskipun tak bisa membalas jasanya…


“Aku sayang ibu”…

Selengkapnya...

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme