Tapi bukan itu masalahnya. Ini bukan tentang pembatalan kehadiran tim MU ke tanah air, atau tentang kenapa sasaran bom kembali ditujukan ke hotel di pusat kota. Ini lebih ke permasalahan eksistensi. Ya, bukan rahasia lagi pada zaman sekarang masih ada ya yang ingin menunjukkan eksistensinya di atas bumi dengan tindakan kekerasan. Termasuk bom. Menghabiskan lembar demi lembar rupiah hanya untuk meluluh-lantakkan sesama hanya ingin memberi tahu dunia bahwa mereka "ada" atau ingin menunjukan bahwa mereka dan idealisme mereka yang paling benar.
Saya justru lebih tertarik dengan kawan-kawan "bomber" graffiti yang mengebom (tembok) jalanan dengan cat warna warni dan tulisan-tulisan yang kadang ada pesan sosial di dalamnya, atau dengan melakukan sticker act ke penjuru-penjuru kota untuk mengatakan bahwa mereka "ada".
Atau bisa kita lihat kawan-kawan dari gerakan Food Not Bombs Bandung, yang membagi-bagikan makanan secara gratis kepada masyarakat di sekitar mereka.

Yah, kalau orang-orang seperti itu, yang di dalam kehidupan masyarakat dianggap sebagai kaum marjinal punya prinsip seperti itu mengapa orang yang katanya "memiliki" agama justru malah menghancurkan sesama. Kenapa harus membeli alat-alat peledak kalau saudara-saudara di sekitar kita masih banyak yang kelaparan?. Bukankah hidup itu lebih baik tanpa bom daripada tanpa makanan?...