Lebaran, Zakat dan Ketupat

gambar oleh Muam

Apa kabar kawan? Tak terasa yah puasa tahun ini sudah di penghujung waktu. Sebentar lagi kita menuju hari kemenangan, Idul Fitri, atau biasa kita sebut lebaran. Rasanya saya tak usah panjang lebar untuk menjelaskan apa makna lebaran atau Idul Fitri tersebut karena sepertinya sudah banyak narablog yang membahasnya, sedangkan saya merasa belum cukup ilmu untuk membahasnya secara mendalam. Tak apa kan?

Bagaimana dengan pengalaman lebaran kawan-kawan kali ini? Mungkin sebagian besar sudah berkumpul bersama keluarga dan sanak saudara yah… atau ada yang tahun ini merayakannya jauh dari keluarga? Tenang saja kawan, bersama atau tidak, dekat atau jauh yang berbeda tentunya suasananya saja, yang penting kan esensi dari Lebaran itu sendiri, bukan begitu kawan?

Lalu bagaimana dengan puasa yang telah kawan-kawan jalankan selama ini?

Semoga amal ibadah kita semua selama menjalankan puasa di bulan Ramadhan kemarin bisa menjadi penebus dosa-dosa kita atau setidaknya bisa menjadi penolong di hari akhir nanti. Kalau dikatakan menyesal, yah pastinya diri ini merasa menyesal. Merasa kurang maksimal dalam mengisi hari-hari Ramadhan kemarin. Ah, entahlah apakah tahun depan masih bisa bertemu. Kita semua pastinya mengharapkan hal yang sama kawan.

Oh iya, di penghujung puasa ada lagi kewajiban yang harus kawan-kawan lunasi, Zakat Fitrah. Sudahkah kawan-kawan melunasinya? Menyisihkan sebagian dari penghasilan yang diterima agar saudara-saudara kita yang kurang beruntung bisa ikut merasakan kebahagiaan di hari Ramadhan. 3,5 liter atau 2,5 kg beras yang menjadi makanan pokok sehari-hari disisihkan untuk membersihkan jiwa kita. Sukur-sukur kalo ada yang memiliki kelebihan materi, alangkah baiknya jika bisa berbagi kepada saudara-saudara kita yang kurang beruntung. Kalo kata ustdz, zakat itu merupakan syarat agar amal ibadah kita di Bulan Ramadhan diterima. Yah, Wallahualam bishowab…


gambar oleh Muam

Lain lagi di rumah-rumah, setiap penghujung puasa ada lagi hidangan yang khas. Yah, ketupat lengkap dengan sayurnya sudah menunggu. Untuk hidangan yang satu ini memang sepertinya khas menjadi hidangan lebaran di negeri kita, terlepas dari keberagaman kulinernya. Hmm, Lebaran dan berbagai aktivitasnya memang selalu berkesan. Silaturrahim, salam-salaman, maaf-maafan. Selamat Idul Fitri 1430 H kawan…

Kawan, dengarkan suara bedug mulai bertalu
Takbir bergema di segala penjuru
Alam seakan ikut mengagungkan kebesaran-Nya
Hari raya telah tiba…
Banyak khilaf dan salah kubuat seakan tak punya malu
Tak lebih yang kuinginkan selain memohon maaf padamu
Semoga tali silaturrahim tetap terjaga


Selengkapnya...

Menjadi Indonesia (yang Bhineka?...)

gambar: jika garuda tanpa bhineka, oleh: muam

ada yang memar, kagum banggaku,
malu membelenggu...
ada yang mekar, serupa benalu,
tak mau temanimu…
****
ada yang runtuh, tamah ramahmu
beda teraniaya…
ada yang tumbuh, iri dengkimu
cinta pergi kemana?...
(efek rumah kaca, menjadi Indonesia)

Rasanya pantas jika Efek Rumah Kaca membuat syair lagu seperti itu. Sebuah lagu yang terinspirasi dari buku karya Parakitri T. Simbolon dengan judul yang sama. Sebuah lagu yang mempertanyakan keadaan bangsa saat ini. Rindu akan sebuah kebanggaan terhadap suatu bangsa, rindu akan keramah-tamahan suatu bangsa, dan rindu akan cinta dari setiap masyarakat kepada masyarakat lainnya dalam suatu bangsa.

Jika Parakitri T. Simbolon dalam bukunya, “Menjadi Indonesia”, menceritakan bagaimana terbentuknya sebuah bangsa yang dinamakan “Indonesia” dari awal Nusantara hingga Perang Pasifik. Mungkin Efek Rumah Kaca lebih ingin membangkitkan kesadaran untuk peduli terhadap apa yang sedang dialami bangsa ini.

Memangnya ada apa dengan bangsa kita?

Dari penggalan syair sebelumnya, terlihat jelas kegelisahan akan hilangnya ciri khas suatu bangsa. Ciri khas akan indahnya keberagaman sebuah bangsa. Bangsa ini sudah terkenal dengan apa yang namanya “kemajemukan”. Siapa yang tak mengenal negeri yang memiliki belasan ribu pulau, ratusan suku bangsa, ragam bahasa, dan berbagai agama serta kepercayaan. Sejak zaman nenek moyang, keberagaman itu yang menjadi ciri khas bangsa ini.

Mahapatih Gajah Mada, sumber gambar: geocities

Apakah kawan-kawan ingat Sumpah Palapa yang dilakukan oleh Gajah Mada ketika ingin menyatukan kawasan Nusantara di bawah Kerajaan Majapahit? Satu per satu kerajaan kecil ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit. Semenjak itu gugusan kepulauan yang terdapat di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik berada dalam satu kesatuan Nusantara. Sejak saat itu kawasan tersebut berada dalam satu kesatuan politik.

Sampai akhirnya datanglah bangsa-bangsa Eropa ingin menikmati segala kekayaan di negeri ini. Satu per satu pulau mulai dikuasai. Perbedaan budaya antar wilayah menyebabkan kurangnya rasa persatuan dalam melawan penjajahan, sampai akhirnya dideklarasikan Sumpah Pemuda pada tahun 1028 yang menyatakan kebangsaan Indonesia. Sejak itulah lahir sebuah konsep tentang suatu bangsa yang dinamakan Indonesia. Sebuah bangsa yang didirikan di atas segala pluralisme budaya, Indonesia adalah sebuah keragaman.

Namun apa yang terjadi sekarang ini?

Seolah kita belum siap untuk menjadi Indonesia, keberagaman yang ada justru menjadi momok yang mengancam sebuah persatuan. Chauvinisme seakan masih mengisi hari-hari kita. Pertentangan perselisihan antar kelompok tak pernah sepi mengisi surat kabar harian atau media-media massa lainnya. Coba kawan lihat, sudah berapa kali para suporter sepakbola daerahnya masing-masing sibuk membuang batu dan “perkakas” lainnya kepada suporter tim sepakbola dari daerah lain? Berapa kali pula kelompok mahasiswa yang katanya “terpelajar” saling memberi bom molotov dalam menyikapi apa yang dinamakan “perbedaan”.

Salah satu contoh tawuran antar mahasiswa, sumber: detiknews

Berbicara pluralisme di negara ini memang menarik. Di satu sisi pluralisme merupakan pondasi dari didirikannya negara ini. Hal ini terlihat jelas dari semboyannya, “Bhineka Tunggal Ika” yang selalu setia dibawa kemana-mana oleh Sang Garuda. Namun, di satu sisi pluralisme menanamkan bibit-bibit perselisihan dan pertentangan. Pelik memang, namun itu adalah kenyataan kawan.


Sudah saatnya kita belajar bukan hanya dari buku literatur, tapi mau belajar dari lingkungan sosial. Pendidikan konvensional telah sukses mencetak generasi-generasi yang “berotak” dan ber”ego”. Pendidikan yang telah berhasil meneruskan generasi yang “super-segala”, merasa dirinya paling benar. Sudah saatnya sesekali kita lihat sekeliling, menyikapi perbedaan yang ada justru menjadi pengisi warna dalam kahidupan, dan menyadari bahwa pluralisme itu sendiri merupakan dasar dari didirikannya negara kita, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lalu bagaimana kawan, sudah siapkah saya dan kawan-kawan semua, kita, untuk menyebut diri kita sebagai Orang Indonesia? Siapkah kita Menjadi Indonesia, sebuah bangsa yang terdiri dari keberagaman? Kalau memang sudah siap, mari kita lanjutkan lagu tadi yang sebelumnya terpotong...

lekas,bangun dari tidur berkepanjangan
menyatakan mimpimu

cuci muka biar terlihat segar

merapikan wajahmu

masih ada cara menjadi besar

memudakan tuamu

menjelma dan menjadi Indonesia

......

Lagu Efek Rumah Kaca, Menjadi Indonesia bisa kawan-kawan download disini

Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti Writing Contest Pestablogger 2009. Pestablogger sendiri merupakan ajang pertemuan para narablog se-Indonesia yang diadakan setiap tahunnya. Untuk tahun 2009 ini Pestablogger mengambil tema “One Spirit One Nation”.



Selengkapnya...

BPK RI dan Pengelolaan Keuangan Negara


Kawan, tahukah kamu apa itu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)?

BPK RI merupakan lembaga tinggi negara yang mendapatkan amanah untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Adanya amandemen ketiga UUD 1945, serta paket Undang-undang keuangan negara yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara; serta UU no. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1973 tentang BPK; telah memperkokoh eksistensi BPK RI sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara yang bertugas sebagai auditor eksternal pemerintah.

Artinya apa?

Artinya disini BPK RI memiliki peran aktif dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang akuntabel dan transparan. Caranya bagaimana? BPK RI mewujudkan peran aktif tersebut dengan menuangkannya dalam rencana strategis yang terdiri dari:
  1. mewujudkan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang independen dan profesional dalam semua aspek tugasnya untuk menuju terwujudnya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan negara;
  2. memenuhi semua kebutuhan dan harapan pemilik kepentingan, dalam hal ini DPR, DPD, dan DPRD sertamasyarakat pada umumya;
  3. mewujudkan BPK RI sebagai pusat regulator di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; dan
  4. mendorong terwujudnya tata kelola yang baik atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

Jadi BPK RI berkaitan dengan pemeriksaan keuangan negara ya...Lalu apakah BPK RI itu sama dengan KPK? Kan mereka juga bertugas dalam memeriksa korupsi-korupsi...


Tidak, BPK RI berbeda dengan lembaga-lembaga pemeriksa lainnya. Dalam menjalankan tugas pemeriksaan, wewenang BPK RI terbatas hanya melakukan pemeriksaan, selebihnya tidak. Pemeriksaan yang dilakukan BPK RI itu sendiri terdiri dari 3 jenis yaitu pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Dari hasil pemeriksaan tersebut dilihat laporan hasil pemeriksaannya. Jika terdapat indikasi korupsi, tindak pidana, atau kerugian negara maka kasusnya akan diserahkan kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan Tinggi.

Jika BPK RI sebagai lembaga tinggi yang bertugas memeriksa seluruh elemen-elemen pemerintahan, lalu siapakah yang memeriksa BPK RI itu sendiri? apakah BPK RI tidak perlu diperiksa lagi?...

Nah, meskipun BPK RI menjadi lembaga tinggi negara yang bertugas sebagai pemeriksa eksternal dari pemerintah bukan berarti keuangan maupun kinerja BPK RI tidak perlu diperiksa. Untuk menjaga independensi kredibilitas BPK RI sebagai pemeriksa eksternal pemerintah, BPK RI menyerahkan urusan pemeriksaan keuangannya kepada Kantor Akuntan Publik yang sudah ditunjuk oleh anggotanya. Sedangkan untuk pemeriksaan kinerja dari BPK RI itu sendiri diserahkan kepada BPK dari negara lain dalam bentu peer review berdasarkan pertimbangan DPR, untuk tahun ini BPK RI diperiksa oleh BPK Belanda (Algemene Rekenkamer). Hasil pemeriksaan keuangan BPK RI oleh KAP dapat dilihat disini, sedangkan hasil peer review dapat dilihat disini.


penyerahan hasil Peer Review oleh Algemene Rekenkamer kepada BPK RI. Sumber gambar disini

Itulah sekilas peran pentingnya BPK RI dalam pengelolaan keuangan negara. Masih banyak PR yang harus dilakukan dalam mewujudkan akuntabilitas dan transparansi keuangan negara. Untuk itu dukungan dari semua pihak sangat diharapkan termasuk dari kawan-kawan semua agar ikut mengawasi penggunaan keuangan negara.

Undang-undang yang terkait dengan tulisan ini dapat kawan-kawan unduh disini:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas Diklat Kehumasan dalam Lingkup BPK RI di Kalibata, Jakarta oleh Bapak Endang K. Saputra.
Selengkapnya...

Hijaunya Rumput Tetangga ...

gambar diambil disini

Kawan, apakah kau mengetahui atau sekadar pernah mendengar sebuah peribahasa "Rumput tetangga akan selalu terlihat lebih hijau"? Sebuah peribahasa yang menunjukkan betapa tidak puasnya manusia akan apa yang telah dimilikinya. Individu-individu yang akan selalu merasa kekurangan, apalagi jika dibandingkan dengan individu lainnya.

Dalam konteks hubungan sesama manusia, rasa ketidak-puasan selalu tergambar dengan keinginan untuk menjadi yang lain. Berangan-angan betapa nikmatnya jika kita menjadi sesuatu, betapa enaknya jika kita berada dalam posisi tertentu. Namun apakah pernah kita memikirkan setiap pilihan tersebut ada konsekuensi yang harus dijalani?

Yah, konsep pendidikan di negara ini sepertinya belum mengajarkan bagaimana konsekuensi logis atas setiap pilihan yang akan diemban. Sejak kecil doktrinasi sudah dimasukkan dalam rongga-rongga dalam kepala untuk bisa menjadi seseorang. Dongeng-dongen indah yang mengalun mengiringi lahirnya cita-cita. Ya, cita-cita apa saja, jadi presiden, jadi dokter, jadi insinyur, jadi bankir, jadi apa saja. Tapi, apakah kita diajarkan tanggung jawab dari setiap pilihan itu?

Pernahkah terbersit tanggung jawab dari setiap pilihan? Kita berkeinginan untuk menjadi presiden, lalu apakah pernah terpikir betapa rumitnya mengurus sebuah negara dengan ratusan juta kepala yang isi kepalanya berbeda-beda. Kita berangan-angan menjadi dokter, lantas apakah pernah terpikir bahwa nyawa-nyawa sang pasien berada dalam tanggung jawab seorang dokter. Apalagi jika ada pasien yang mengadu karena kasus mal praktek yang telah dilakukan, sengaja ataupun tidak. Kita ingin jadi insinyur, namun pernahkah kita berpikir nyawa orang-orang yang akan menduduki gedung yang kita buat berada di tangan kita. Rangka konstruksi yang sedikit saja meleset dari perhitungan bisa mengakibatkan nyawa-nyawa melayang. Apapun pilihannya, jangan pernah kita lupakan konsekuensi yang akan mengikutinya.

Bagaimana dalam konteks kenegaraan?

Yah, antara negara tetangga kita seakan-akan selalu memandang rumput di negara kita lebih hijau. Apa sebabnya? Berbagai macam budaya peninggalan leluhur kita satu-persatu di klaim oleh negeri tetangga. Mulai dari fashion (batik), alat musik (angklung), tarian (pendet, reog), sampai bahasa pun mereka ingin ikut mengakuinya. Bahkan sampai pulau-pulau terpencil di daerah perbatasan tak luput dari klaim mereka.


beberapa kebudayaan negeri kita yang berusaha diklaim negeri tetangga, sumber disini

Nah, kalau begitu mereka yang memandang rumput kita lebih hijau. Lalu bagaimana dengan negeri kita? Apakah ikut memandang rumput di negeri tetangga lebih hijau?

Dalam Jejak Pendapat Kompas (31/8/09) diperoleh data pada tahun 2007 jumlah "turis" dari negara kita yang berkunjung ke "negeri seberang" mencapai hampir 3 kali lipat dari jumlah turis negeri tersebut yang mengunjungi negeri kita. Apa masalahnya? Apakah rasa cinta tanah air kita masih kurang atau objek wisata di negeri ini sudah banyak yang tak layak dikunjungi. Padahal setahu saya masih banyak objek wisata dalam negeri yang belum terjamah. Atau hanya karena rasa "kebanggaan" bisa berkunjung ke negeri seberang?

Lalu, masalah TKI ilegal seakan tak pernah selesai. Selesai dideportasi, mereka tak segan akan kembali bahkan dalam jumlah yang lebih banyak. Mati 1 tumbuh 1000 mungkin motto yang cocok disandang bagi para pahlawan devisa itu. Siksaan yang bahkan mempertaruhkan nyawa tak bisa mengalahkan keinginan mereka untuk meraup ringgit. Berarti bukankah negeri seberang memiliki rumput (baca: penghasilan) yang lebih hijau daripada negeri kita?

Lagi-lagi yang harus kita sikapi adalah bagaimana kita bisa bersyukur atas apa yang telah dimiliki. Selain itu kita harus paham konsekuensi logis dari apa yang kita miliki, sebuah tanggung jawab yang melekat dari tiap posisi. Setiap orang sudah diberi jatah tanggung jawab yang harus diemban atas posisinya sekarang. Begitu pula dengan negeri ini yang memiliki beraneka ragam budaya, sudah sepatutnya kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga, melestarikannya, dan mencintainya. Introspeksi juga diperlukan agar kita bisa berbenah, mempercantik negeri agar bukan hanya bangsa asing yang bangga dengan negeri kita, tapi kita juga bisa ikut berbangga.

Bangga sebagai Warga Indonesia...
Bangga memiliki beraneka ragam budaya...
Bangga menggunakan Bahasa Indonesia...
Bangga sebagai Indonesia...

Selengkapnya...

powered by Blogger | WordPress by Newwpthemes | Converted by BloggerTheme